Minggu, 06 Maret 2016

Kualitas Hidup Remaja dengan Kondisi Penyakit Kronis

Kualitas Hidup Remaja dengan Kondisi Penyakit Kronis


Tujuan:
  1. Memahami beberapa penyebab yang mempengaruhi kualitas hidup remaja.
  2. Memahami dampak dari penyakit kronis terhadap kualitas hidup remaja.
  3. Memahami penatalaksanaan remaja dengan kondisi kronis yang berpengaruh pada kualitas hidup remaja.

Masa remaja/adolesen adalah suatu bagian dari proses tumbuh kembang yang berkesinambungan, yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa muda. Pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dalam aspek fisik, emosi, kognitif, dan sosial.

Masa ini merupakan masa yang kritis, yaitu saat untuk berjuang melepaskan ketergantungan kepada orang tua dan berusaha mencapai kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Keberhasilan remaja melalui masa transisi ini dipengaruhi baik oleh faktor biologis maupun lingkungan (keluarga, teman sebaya, dan masyarakat). Faktor biologis yang sangat mempengaruhi tumbuh kembang remaja adalah penyakit kronis. Kondisi penyakit kronis dapat mempengaruhi perkembangan fisik, kognitif, sosial dan emosional pada remaja. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan terhadap kualitas hidup remaja.

Dengan kemajuan teknologi kedokteran dalam beberapa dekade terakhir, prevalens remaja dengan penyakit kronis meningkat dramatis. Banyak anak dengan kondisi penyakit kronis misalnya penyakit jantung bawaan, asma, gagal ginjal dapat bertahan hidup dan mencapai masa remaja. Prevalensi penyakit kronis pada remaja sulit ditentukan karena kurangnya data yang berkualitas yang memfokuskan terhadap masalah kelompok umur ini, serta perbedaan definisi dan metodologi yang digunakan.

Untuk mendapatkan tumbuh kembang anak yang optimal dengan kondisi kesehatan kronis dapat terjadi gangguan dalam tumbuh kembangnya. Mereka dapat mengalami keterlambatan dalam perkembangan fisik, kognitif, komunikasi, motorik, adaptif, atau sosialisasi dibandingkan dengan anak yang normal termasuk didalamnya timbulnya perilaku risiko tinggi yang khas pada remaja seperti emosi yang meledak-ledak, sikap menentang, cenderung nekat, dan drug abuse.

Gangguan yang terjadi dapat dari yang ringan sampai berat, dari yang sementara sampai yang permanen. Gangguan tumbuh kembang terjadi akibat dari gejala atau kelainan yang menetap, pengobatan yang lama, keterbatasan aktifitas atau mobilitas, atau keterbatasan terhadap kegiatan di sekolah, rekreasi, bermain, aktifitas keluarga atau dalam pekerjaan.6 Penanganan optimal remaja dengan penyakit kronis tidak hanya terbatas pada masalah medis, tetapi harus memperhatikan faktor perkembangan, psikososial, dan keluarga. Penyakit kronis berdampak terhadap perkembangan remaja yang menimbulkan berbagai masalah dan menurunkan kualitas hidupnya. Tenaga medis berperan membantu remaja tersebut mengatasi permasalahan penyakitnya dan mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.

Kualitas Hidup Remaja


Kualitas hidup remaja memiliki definisi yang berbeda pada setiap periode. Kualitas hidup ini bergantung pada keadaan emosi tiap individu, keadaan sosial, dan fisik tiap individu termasuk kemampuannya untuk melakukan kegiatan dalam kehidupan.

Kualitas hidup pada keadaan sakit didefinisikan oleh World Health Organization(WHO) adalah suatu keadaan tercukupinya keadaan fisik, mental dan sosial.

Konvensi Hak Anak tahun 1989 telah menekankan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tercukupinya keadaan fisik, mental, spiritual, moral, dan perkembangan sosial. Setiap anak memiliki hak untuk menyatakan pendapat secara bebas, dan pendapatnya tersebut diperhitungkan, serta berada di lingkungan keluarga yang memiliki kasih sayang dan memberikan perlindungan.
Remaja berbeda dengan dewasa dalam pandangannya terhadap kualitas hidup. Orang dewasa menilai kemampuannya dari keadaannya yang mandiri dalam kehidupan, sedangkan remaja lebih mementingkan tercapainya fungsi tugas dasar kehidupan. Remaja lebih senang memiliki banyak teman, berkencan, pergi ke pesta dan pencapaiannya pada tugas perkembangan lain yang penting untuk pertumbuhan emosi dan fisik.

Menurut American Academy of Pediatrics(1993), kondisi kesehatan kronis adalah penyakit atau cacat yang diderita dalam waktu lama dan memerlukan perhatian dalam bidang kesehatan dan perawatan khusus dibandingkan dengan anak normal seusianya, baik dalam perawatan di rumah sakit, maupun perawatan kesehatan di rumah.

Stein dkk mengembangkan suatu pendekatan non kategori untuk menentukan kondisi penyakit kronis yang terdiri dari 3 konsep yang harus terpenuhi:
  1. Kelainan yang merupakan penyakit biologis, psikososial, atau kognitif.
  2. Durasi penyakit > 12 bulan.
  3. Konsekuensi dari kelainan tersebut menyebabkan:
  • Keterbatasan fungsional dibandingkan kelompok sehat yang seumur.
  • Bergantung pada jenis pelayanan yang dibutuhkan misalnya medikasi atau pengobatan, diet khusus, teknologi medis, alat bantu, atau bantuan personal.

Membutuhkan perawatan medis atau sejenisnya, misalnya pelayanan psikologis atau pendidikan lebih dari yang biasa seusianya.

Epidemiologi


Prevalens penyakit kronis pada remaja sulit ditentukan karena kurangnya data yang berkualitas yang memfokuskan terhadap masalah kelompok umur ini, serta perbedaan definisi dan metodologi yang digunakan. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Stein dan Silver, diperkirakan terdapat 10,3 juta (14.8%) anak anak usia 0-17 tahun mengalami kondisi penyakit kronis yang diambil dari data National Health Interview Survey Disability Supplement for Children tahun 1994.

Etiologi


Secara garis besar penyebab kondisi kesehatan kronis adalah sebagai berikut: 6
  1. Genetik: antara lain adalah diabetes melitus tipe 1, thalasemia, sindroma down, fenilketonurea, sindroma fragil, dan sebagainya.
  2. Penyakit infeksi sekuele dari ensefalitis, polio, jantung rematik, HIV/AIDS, CMV, Toxoplasma dan sebagainya.
  3. Lingkungan: Keracunan logam berat
  4. Nutrisi: Defisiensi nutrisi / KEP, vitamin A, Iodium, dan sebagainya
  5. Cedera: akibat kecelakaan, kekerasan dll.
  6. Penyebab lain.
Banyak kondisi kesehatan kronis yang tidak diketahui sebabnya, misal: kanker, autisme, ADHD, cacat bawaan genetik. Penyakit alergi juga sering menyebabkan kondisi kesehatan kronis seperti asma, eksema, dan lain lain.

Dampak penyakit kronis

Dampak penyakit kronis bergantung oleh pandangan anak terhadap organ tubuhnya, penyakitnya, pengobatan yang diterimanya, dan pandangan terhadap kematian. Dampak jangka panjang kondisi kesehatan kronis dapat mengenai penderita maupun keluarganya. Dampak pada anak tercermin pada perkembangan psikososialnya, keterlibatannya dengan teman sebaya serta prestasi di sekolah. Sedangkan dampak terhadap keluarganya, antara lain terhadap status psikososial orang tua, aktifitas dan status ekonomi keluarga serta peran keluarga di masyarakat.

1. Dampak pada pertumbuhan dan pubertas


Masa remaja awal merupakan periode dimana terjadi pertumbuhan fisik dan perkembangan pubertas yang pesat, sedangkan pada masa remaja tengah dan akhir lebih dominan terjadi perkembangan kognitif dan psikososial. Pubertas dan adolescent growth spurt menyebabkan berbagai perubahan metabolik pada tubuh remaja dengan penyakit kronis. Sebagai contoh meningkatnya kadar hormon pertumbuhan pada masa remaja menyebabkan peningkatan resistensi insulin yang dapat remaja cenderung menimbulkan rasa ingin lepas ketergantungan dari orangtua dan ingin mencoba berbagai hal baru. Hal ini dapat menyebabkan kepatuhan berobat berkurang sehingga terjadi eksaserbasi penyakit kronis, misalnya asma atau gagal ginjal kronis. Penyakit kronis seperti kelainan jantung kongenital sering menimbulkan gangguan pertumbuhan misalnya perawakan pendek dan gagal tumbuh. Penyakit sickle cell seperti thallassemia selain menyebabkan gagal tumbuh, juga menyebabkan pubertas terlambat.

2. Penampilan (body image)

Remaja sangat sadar dengan penampilannya. Pubertas terlambat atau kecacatan yang tampak akan mengakibatkan rendah diri. Bentuk fisik yang berbeda dibandingkan dengan remaja sehat juga sering menimbulkan kecemasan dan depresi, karena remaja sangat memperhatikan penampilan fisik. Kondisi kronis yang mengharuskan menggunakan alat bantu misalnya alat bantu dengar, kursi roda, dan lainnya menyebabkan perasaan minder sehingga mereka cenderung menarik diri. Penampilan yang tidak normal, dapat mengakibatkan:

    * Rendah diri
    * Menyendiri dari kelompoknya
    * Sering absen dari sekolah dan aktifitas lainnya
    * Meningkatnya kekhawatiran terhadap fungsi seksual
    * Gangguan makan
    * Depresi, pemarah, atau keduanya

3. Perkembangan Sosial dan Emosi


Dikatakan bahwa walaupun anak dengan kondisi kronis perkembangan psikososialnya lebih rendah daripada anak yang normal, tetapi kondisi anak bukan faktor utama dalam mempengaruhi perkembangan emosinya. Kedekatan keluarga sangat penting dalam perkembangan emosi anak. Bila dibandingkan dengan remaja normal, maka banyak masalah psikososial yang dihadapi remaja dengan kondisi kesehatan kronis. Penderita dengan masalah psikologi harus dievaluasi dan dipantau, dengan melibatkan tenaga profesional dalam kesehatan mental, seperti psikiater dan psikolog.

4. Kemandirian (Independence-Dependence)

Dalam penatalaksanaan medis, seringkali remaja dengan kondisi kronis dipengaruhi oleh perkembangannya dalam proses kemandiriannya yaitu pada remaja awal dan menengah. Pada anak dengan kondisi kronis sangat bergantung pada orangtuanya atau lainnya, termasuk dokternya; dalam perkembangannya remaja ini dapat menjadi penurut dan kekanak-

5. Pendidikan

Masalah yang sering dihadapi anak dengan kondisi kesehatan kronis, adalah sering tidak masuk sekolah, kesulitan berpindah dari kelas satu ke kelas lainnya, berkurangnya fungsi kognitif karena obat-obatan, meningkatnya risiko kumat karena minum obat yang tidak teratur. Ditambah lagi guru yang tidak mengerti tentang kondisi kesehatan kronis, dan kurangnya pengetahuan dari guru terhadap cara mendidik anak-anak tersebut. Selain itu kurangnya komunikasi antara dokter, perawat dan guru dalam rencana pendidikan setiap anak. Juga komunikasi yang rendah antara orang tua dengan guru tentang kondisi anak dan kegiatannya di sekolah, kurangnya komunikasi ini sebanding dengan rendahnya pendidikan dan penghasilan orangtua.

Keharusan kontrol secara teratur dan terkadang menjalani perawatan di rumah sakit menyebabkan mereka sering tidak masuk sekolah dan tertinggal pelajaran dibandingkan teman sekelasnya. Dengan demikian remaja dengan kondisi penyakit kronis mendapat kesulitan untuk menyelesaikan sekolah dan mengejar semua ketinggalan. Apabila tidak menyelesaikan sekolah maka mereka akan sulit mencari pekerjaan yang layak. Hal ini berdampak terhadap aspek ekonomi karena mereka akan bergantung dari segi finansial.

6. Kelompok Sebaya (Peer group)

Beberapa area psikososial spesifik, misalnya lepas ketergantungan dari orangtua, hubungan dengan keluarga, dan hubungan dengan teman sebaya merupakan masalah yang harus dihadapi remaja dengan penyakit kronis. Remaja dengan kondisi kronis aktifitasnya sering terhambat akibat dari faktor fisik, mental, atau masalah sensoris, hal ini disebabkan oleh kondisi yang terkait dengan penyakitnya seperti lelah, sering ke dokter, atau sering dirawat di rumah sakit. Anak dengan kondisi kronis sering dijauhi teman sebayanya, atau khayalannya sendiri bahwa teman-temannya tidak mau bergaul dengannya. Mereka seringkali merasa terasing dan ditolak dari lingkungannya sehingga menarik diri dari lingkungan.

7. Pekerjaan

Dibanding dengan remaja yang tidak mengalami penyakit kronis, kelompok remaja dengan kondisi kronis ini kelak pada saat dewasa lebih sedikit yang mendapat pekerjaan tetap dan berkarier. Demikian pula akan berdampak pada penghasilannya, mereka pada umumnya penghasilannya lebih rendah. Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang erat antara pendidikan khusus, dengan pelayanan rehabilitasi ketenagakerjaan, dan lembaga penyaluran tenaga kerja, agar kelak mudah mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya.

8. Perilaku yang berisiko

Perilaku yang berisiko, terutama dalam bidang seksualitas dan obat-obat terlarang, sering terjadi pada remaja. Bila disertai dengan kondisi kronis, maka perilaku ini dapat lebih sering. Pada remaja dengan kondisi kronis, risiko kesehatan terhadap aktifitas seksual akan meningkat yang disebabkan oleh penyakitnya sendiri, obat-obat yang digunakan, atau oleh karena adaptasi yang salah terhadap respon emosi dari kondisinya. Penggunaan obat-obat terlarang pada remaja dengan kondisi kronis dapat memberikan kontribusi bermakna pada morbiditas dan mortalitas.

9. Terhadap Keluarga

Kondisi penyakit kronis menyebabkan remaja sangat bergantung kepada orangtua dan keluarganya. Waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk merawat remaja dengan penyakit kronis lebih banyak sehingga seringkali menimbulkan masalah ekonomi. Orangtua menjadi merasa bersalah, frustasi, cemas dan depresi terhadap penyakit yang diderita anaknya. Bagi anak atau anggota keluarga yang lain, waktu kebersamaan dengan orangtua akan berkurang.
Beberapa contoh kasus kondisi penyakit kronis pada remaja yang membuat cemas anak dan keluarga
  1. Seorang anak remaja perempuan dengan kelainan prolaps katup mitral telah menjalani operasi penggantian katup. Penderita kemudian menjalani pengobatan selanjutnya dengan mengkonsumsi warfarin. Pada saat penderita mengalami pubertas dan mengalami menstruasi, timbul masalah baru karena setiap mengalami menstruasi, penderita mengalami perdarahan yang banyak, yang disebabkan oleh penggunaan warfarin tersebut. Hal ini menimbulkan kecemasan baik pada penderita maupun orang tua.
  2. Seorang anak perempuan dengan Sindrom Down saat ini telah menginjak usia remaja. Kemudian timbul kekhawatiran pada orang tua mengenai kemungkinan anaknya akan mengalami menstruasi dalam waktu dekat. Dengan keadaannya tersebut maka tidak memungkinkan anaknya tersebut dapat menghadapi keadaan menstruasi, seperti mengganti pembalut dan sebagainya. Sehingga orang tua meminta dokter untuk memberikan obat penghenti menstruasi sampai keadaan anak siap.
  3. Seorang anak perempuan dengan Sindrom Down telah memasuki masa pubertas. Pada masa ini timbul rasa menyukai teman lain jenis, namun lama-kelamaan rasa menyukai teman lain jenis ini menjadi berlebihan dan anak ini menjadi tampak selalu mengejar remaja lelaki yang terlihat olehnya. Hal ini menimbulkan kecemasan pada orang tua.
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang optimal pada remaja dengan kondisi kronis adalah sangat penting. Penatalaksanan harus melibatkan kesehatan mental, memantau perkembangan anak, dan melibatkan keluarga. Pengobatan sederhana tidak cukup.

Remaja harus bekerja sama dengan tim kesehatan, percaya terhadap pengobatan yang diberikan, dan mempunyai keluarga yang mendukung dan membantu dalam rencana pengobatan. Beberapa prinsip penatalaksanaan remaja dengan kondisi kronis adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan kesehatan
Menjelaskan kepada remaja tentang perjalanan penyakitnya dan keterbatasan pengobatan. Pendidikan kesehatan harus langsung pada penderita dan keluarganya dan harus menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.

2. Merespons terhadap emosi
Dengarkan baik-baik, berikan waktu yang cukup bagi remaja dan keluarganya untuk mengemukakan perasaannya, kekhawatirannya, dan harapannya.

3. Melibatkan keluarga
Dukungan pada keluarga dan petunjuk penatalaksanaan sangat penting. Keluarga harus dibantu agar tidak melakukan sikap yang berlebihan terhadap anak, seperti terlalu melindungi, terlalu khawatir dan memberikan perhatian berlebihan.

4. Melibatkan pasien
Bila remaja dilibatkan dalam penatalaksaan penyakitnya, maka mereka akan lebih patuh dan bertanggungjawab.

5. Melibatkan tim multidisiplin
Beberapa ahli diperlukan dalam menatalaksana remaja dengan kondisi kronis, seperti dokter, psikolog, pekerja sosial, okupasi-terapis, fisioterapis, ahli gizi, dan ahli lain yang terkait.

6. Menyediakan perawatan yang berkelanjutan
Remaja dengan kondisi kronis membutuhkan seseorang yang bisa dipercaya. Paling sedikit salah satu dari anggota tim, lebih baik dokter dari pusat kesehatan primer (seperti Puskesmas), yang membina hubungan jangka panjang dengan penderita dan keluarganya. Peran dokter disini adalah mengkoordinasi perawatan berbagai spesialis (multidisiplin), memantau tumbuh kembangnya, memberikan petunjuk yang mungkin diperlukan, dan lain sebagainya.

7. Menyediakan pelayanan rawat jalan yang komprehensif
Diperlukan pelayanan psikologikal, belajar bersosialisasi, pendidikan,
penelitian, dikatakan bahwa remaja yang mendapatkan pelayanan yang komprehensif, dapat menurunkan frekuensi rawat inap, lama dirawat, biaya di rumah sakit, dan menurunkan kemungkinan dirawat kembali.

8. Merujuk ke kelompok pendukung (kelompok sebaya atau kelompok penyakit sejenis).
Ikut dalam kelompok pendukung dapat saling tukar pengalaman dan informasi antara penderita dan keluarga lain dengan masalah yang sama.

9. Mengembangkan teknik menolong diri sendiri Pelatihan (terapi perilaku) terhadap remaja dalam teknik mengatasi stres atau rasa sakit, dapat membantu remaja mengurangi stres terhadap penyakit dan pengobatan yang diberikan.

10. Pembatasan
Bila kepatuhan atau perilaku yang menjadi masalah, remaja harus dibuat disiplin, dan tim yang merawat serta keluarganya harus setuju dan mendukung.

11. Perawatan di rumah sakit
Bila diperlukan perawatan remaja di rumah sakit, terbaik bila ditangani dalam lingkungan yang kondusif untuk kebutuhan perkembangan remaja.

Peran Tenaga medis menghadapi remaja dengan kondisi penyakit kronis


Penanganan kondisi penyakit kronis pada masa remaja terjadi masa pertumbuhan dan perubahan fisiologis yang cepat serta proses individualisasi merupakan tantangan baik bagi penderita, keluarganya, dan tim medis profesional. Setelah mendengarkan pendapat dari orangtua, konsultasi secara pribadi dengan remaja yang memiliki penyakit kronis merupakan hal yang penting. Pendekatan dengan cara tidak menghakimi akan meningkatkan kepatuhan untuk berobat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar